Sejarah KPU
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh Nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang professional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pemilihan umum. Oleh karena itu, diperlukan adanya satu undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum.
Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggara Pemilihan Umum sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 menjadi tanggung jawab Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Namun, sejak era reformasi bergulir maka yang menjadi penanggung jawab penyelenggaraan Pemilu adalah KPU.
Komisi Pemilihan Umum yang pertama (1999 – 2001) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang yang terdiri dari unsur pemerintah 5 (lima) orang dan partai politik 48 orang. KPU pertama dilantik oleh Presiden BJ. Habibie.
Keberadaan KPU sebagai penyelenggara Pemilu di Indonesia pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Namun dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
Berikut dipaparkan perjalanan lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia sejak tahun 1955 hingga kini sebagai cikal bakal terbentuknya Komisi Pemilihan Umum yang sekarang yang diolah dari beberapa sumber.
A. Orde Lama
1. Penyelenggara Pemilu 1955 Untuk menyelenggarakan Pemilu tahun 1955 dibentuk badan penyelenggara pemilihan dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und. Tanggal 23 April 1953 dan Nomor 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu :
1. Penyelenggara Pemilu 1955 Untuk menyelenggarakan Pemilu tahun 1955 dibentuk badan penyelenggara pemilihan dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und. Tanggal 23 April 1953 dan Nomor 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu :
- Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), bertugas mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. PPI beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang dengan masa kerja selama 4 (empat) tahun.
- Panitia Pemilihan (PP), dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persiapan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. PP beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang anggota dengan masa kerja selama 4 (empat) tahun.
- Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk di setiap kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu panitia pemilihan mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR.
- Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mesahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemunutan suara.Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan Camat karena jabatannya menjadi ketua PPS merangkap anggota.Wakil ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas nama Menteri Dalam Negeri.
Pada tahun 1959, PPI dan PP berhenti menjalankan tugasnya tetapi belum dibubarkan, hanya saja pemerintah tidak mengangkat anggotanya lagi. Hal ini merupakan konsekuensi dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pemberlakuan kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya UUDS 1950. Meskipun PPI dan PP sudah tidak ada tetapi Sekretariat PPI masih berjalan hingga tahun 1969.
Setelah Pemilu tahun 1955, praktis PPI dan PP serta jaringan di bawahnya tidak ada kegiatan. Pemilu selanjutnya yang semula hendak diselenggarakan pada tahun 1969, baru bisa terlaksana pada tahun 1971.
B. Orde Baru
1. Penyelenggara Pemilu 1971
Menjelang Pemilu 1971, dilakukan beberapa persiapan menyangkut payung hukum pelaksanaan Pemilu 1971. Salah satunya dengan membentuk Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Undang-Undang ini salah satunya mengatur tentang pembentukan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) oleh Presiden sebagai badan penyelenggara Pemilu 1971.
1. Penyelenggara Pemilu 1971
Menjelang Pemilu 1971, dilakukan beberapa persiapan menyangkut payung hukum pelaksanaan Pemilu 1971. Salah satunya dengan membentuk Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Undang-Undang ini salah satunya mengatur tentang pembentukan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) oleh Presiden sebagai badan penyelenggara Pemilu 1971.
LPU dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. Bersamaan dengan itulah PPI dan PP beserta sekretariatnya yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1953 dinyatakan bubar.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 menyebutkan bahwa LPU merupakan lembaga yang permanen yang terdiri atas 3 (tiga) unsur, yaitu Dewan Pimpinan, Dewan/Anggota-Anggota Pertimbangan, dan Sekretariat. Di samping itu, dibentuk badan lain dalam LPU yaitu Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Dewan Pimpinan bertugas menetapkan kebijakan Pemilu dan mengambil keputusan atas pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan. Dewan Pimpinan beranggotakan beberapa Menteri dan bersifat fungsional.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 07 Tahun 1970 disebutkan bahwa anggota Dewan Pimpinan adalah Menteri Dalam Negeri Letjen TNI Amir Machmud (Ketua merangkap anggota), Menteri Kehakiman Prof. Oemar Senoadji (Wakil Ketua merangkap anggota), Menteri Penerangan Laksamana Muda Budiardjo (Wakil Ketua merangkap anggota), Menteri Keuangan Prof. Ali Wardhana, Wakil Panglima ABRI M. Panggabean yang posisinya mewakili Menteri Pertahanan dan Keamanan/Pangab, Menteri Perhubungan Drs. Frans Seda, dan Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Dewan /Anggota-anggota Pertimbangan bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan atau masukan-masukan kepada Dewan Pimpinan baik diminta ataupun atas inisiatif sendiri. Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan beranggotakan wakil-wakil dari organisasi golongan politik yang diakui dan Golongan Karya yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Presiden.
Keputusan Presiden Nomor 07 Tahun 1970 juga menyebutkan bahwa Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan terdiri atas Bastaman, SH (PSII), Victor Matondang (Partindo), F.X Sudjana, SH (Partai Katolik), H. Djen Mohammad Surjopranoto (NU), Nurhasan Ibnu Hadjar (PI Perti), Ismail Hasan Metareum, SH (Parmusi), Adipranoto (PNI), WA Chalik (IPKI), D. Gondowardojo (Murba), Drs. Sumiskum (Sekber Golkar), Oetojo Oesman, SH (Sekber Golkar), Drs. Merdopo (Sekber Golkar), Mayjen TNI Soebijono, SH (ABRI). Dalam perjalanannya, Bastaman digantikan oleh Drs. MA Gani MA.
Sementara itu, Sekretariat LPU bertugas merencanakan dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk administrasi Pemilu. Sekretariat LPU dipimpin oleh Sekretaris Umum yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Presiden. Karena jabatannya, seorang Sekretaris Umum juga menjadi Sekretaris Dewan Pimpinan dan Sekretaris Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1970 yang menjabat sebagai Sekretaris Umum LPU pada saat itu adalah Mayjen TNI Soenandar Prijosoedarmo. Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Umum dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Umum yang saat itu dijabat oleh Kol. Inf. Erman Harirustaman. Pengangkatan Wasekum dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua LPU. Sedangkan untuk mengisi personalia pegawai Sekretariat LPU diambil dari pegawai Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman, Departemen Penerangan, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Keuangan, dan Biro Pusat Statistik. Sekretariat LPU saat itu berkedudukan di Jalan Matraman Raya No. 40 Jakarta Timur, bekas kantor PPI.
Selanjutnya, badan lain yang dibentuk dalam LPU adalah Badan Perbekalan dan Perhubungan yang dipimpin oleh Brigjen TNI Ali Moertopo dengan jabatan Kepala Badan. Pembentukan Badan Perbekalan dan Perhubungan ini dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1970 yang didasarkan pada Pasal 4 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 01 Tahun 1970. Yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Kepala Badan Perbekalan dan Perhubungan adalah Presiden. Presiden mengangkat Ali Moertopo melalui Keputusan Presiden Nomor 08 Tahun 1970. Adapun pengangkatan dan pemberhentian wakilnya merupakan wewenang Menteri Dalam Negeri/Ketua LPU. Saat itu Wakil Kepala Badan Perbekalan dan Perhubungan djabat oleh Ir. Sahertian. Personalia badan ini diambil dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Keuangan, dan instansi lain yang dipandang perlu.
Selanjutnya, untuk membantu LPU dalam penyelenggaraan pemilu di semua tingkatan dibentuk panitia penyelenggara pemilu dari tingkat Pusat hingga daerah. Untuk tingkat Pusat dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), untuk tingkat Provinsi atau Daerah Tingkat I dibentuk Panitia Pemilihan Daerah (PPD) I, untuk tingkat kabupaten/kotamadya atau Daerah Tingkat II dibentuk Panitia Pemilihan Daerah (PPD) II. Adapun untuk tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS). Untuk tingkat desa/kelurahan dibentuk Panitia Pendaftaran Pemilih, dan untuk tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Bagi WNI yang berada di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri yang berkedudukan di Departemen Luar Negeri. Di setiap Kantor Perwakilan di luar negeri dibentuk Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri dan untuk tiap Tempat Pemungutan Suara di luar negeri dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
Secara garis besar, Lembaga Pemilihan Umum bertugas membuat perencanaan dan persiapan Pemilu, memimpin dan mengawasi panitia-panitia di Pusat dan daerah, mengumpulkan dan menyistemasi bahan dan data hasil Pemilu, serta mengerjakan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk melaksanakan Pemilu.
2. Penyelenggara Pemilu 1977
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1971, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1971, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
3. Penyelenggara Pemilu 1982
Pemilu 1982 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1977, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
Pemilu 1982 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1977, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
4. Penyelenggara Pemilu 1987
Pemilu 1987 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1982, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
Pemilu 1987 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1982, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
5. Penyelenggara Pemilu 1992
Pemilu 1992 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1987, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
Pemilu 1992 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1987, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
6. Penyelenggara Pemilu 1997
Pemilu 1997 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1992, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
Pemilu 1997 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan tahun 1992, yaitu PPI di tingkat pusat, PPD I di tingkat provinsi, PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya, PPS di tingkat kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi Pemilih di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara.
C. Orde Reformasi
1. Penyelenggara Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.
1. Penyelenggara Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.
Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Sidang Istimewa MPR pada awal November 1998 mengesahkan Tap MPR No. XIV/1998 yang memerintahkan kepada presiden untuk menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya pada 7 Juni 1999. Selanjutnya pada pada 1 Februari 1999 disahkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Undang-undang tersebut mereformasi Lembaga Pemilihan Umum (LPU) menjadi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dijelaskan bahwa Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden. Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU, berkedudukan di Ibukota Negara dan pembentukannya diresmikan dengan Keputusan Presiden.
Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, maka dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan Umum sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk, persiapan pelaksanaan Pemilu dilakukan LPU dan untuk itu Ketua Umum LPU telah membentuk Tim-11 yang bertugas membantu LPU terutama dalam verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu. Susunan Keanggotaan Tim-11 adalah sebagai berikut : 1) Prof. DR. Nurcholis Madjid, Sebagai Ketua; 2) DR. Adnan Buyung Nasution, SH. Sebagai Wakil Ketua; 3)Prof. DR. Adi Andoyo, SH. Sebagai Wakil Ketua; 4) DR. Andi A. Malarangeng, Sebagai Sekretaris; 5)Rama Pratama, Sebagai Wakil Sekretaris; 6) Prof. DR. Miriam Budiardjo, MA, Sebagai Anggota; 7) DR. Afan Gafar, Sebagai Anggota; 8) Drs. Mulyana W. Kusumah, Sebagai Anggota; 9) DR. Kastorius Sinaga, Sebagai Anggota; 10) DR. Eep Saefulloh Fattah, Sebagai Anggota; 11) Drs. Anas Urbaningrum, Sebagai Anggota.
Keppres Nomor 16 Tahun 1999 dikeluarkan untuk membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pengganti Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Berbeda dengan LPU yang secara otomatis diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, disekretarisi oleh Sekjen Depdagri, maka ketua dan wakil-waki ketua KPU dipilih dari dan oleh anggota KPU. Anggota KPU saat itu terdiri dari 5 orang wakil pemerintah yaitu DR. Adnan Buyung Nasution, SH; Prof. DR. Adi Andoyo, SH; DR. Afan Gafar; Oka Mahendra, SH; DR. Andi A. Malarangeng; serta 48 orang wakil dari partai politik. Pembentukan KPU dan penunjukkan anggotanya itu dimaksudkan agar KPU dapat berperan lebih independen dan tidak terpengaruh oleh intervensi pihak pemerintah di dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Secara Institusional, ini adalah KPU pertama (1999-2001) sejak reformasi 1998. KPU pertama dilantik oleh Presiden BJ. Habibie. Masa keanggotaan KPU adalah 5 (lima) tahun. Masa kerja KPU untuk Pemilihan Umum 1999 berakhir 1 tahun sebelum Pemilihan Umum 2004.
Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU dibantu oleh Sekretariat Umum yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Umum dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Umum. Sekretariat Umum fungsinya adalah supporting dan fasilitating, yaitu membantu dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan KPU. Sekretaris Umum dan wakil Sekretaris Umum diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulan KPU. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Umum secara teknis operasional bertanggung jawab kepada KPU dan secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Pemerintah. Hal ini juga berlaku bagi sekretariat di tingkat PPI, PPD I, PPD II, PPK, PPS dan KPPS.
Penyelenggara di tingkat pusat dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia yang jumlah dan unsur anggotanya sama dengan KPU. Untuk penyelenggaraan di tingkat daerah dilaksanakan oleh PPD I, PPD II, PPK, PPS dan KPPS. Untuk penyelenggaraaan di luar negeri dilaksanakan oleh PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil parpol peserta pemilu ditambah beberapa orang wakil dari pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat.
KPU juga didampingi oleh pemantau-pemantau Pemilihan Umum, baik dari dalam maupun dari luar negeri yang berjumlah sekitar 590.000 orang dan juga terbantu oleh adanya 350 orang observer internasional.
Tepat setahun setelah penyelenggaraan Pemilu 1999 yaitu tanggal 7 Juni 2000 Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum disahkan. Latar belakang diterbitkannya Undang-undang ini adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menetapkan bahwa agar penyelenggaraan pemilihan umum lebih berkualitas, demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab, maka penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan oleh suatu badan yang independen dan nonpartisan.
Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum telah menetapkan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik peserta pemilihan umum dan wakil pemerintah. Ketentuan mengenai keanggotaan Komisi Pemilihan Umum ini tidak sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Nomor IV/MPR/1999 sehingga Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum diubah dengan Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2000.
Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan non partisan. Dalam Undang-undang ini diatur pula mengenai susunan keanggotaan KPU dan masa kerja KPU untuk Pemilu 1999 yang berakhir sesuai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2000 yaitu tanggal 7 Juni 2000.
2. Penyelenggara Pemilu 2004
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah BAB IV mengatur tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah BAB IV mengatur tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Dinyatakan bahwa Pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU bertangung jawab atas penyelenggaraan Pemilu. Dalam melaksanakan tugasnya KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Oleh karenanya, KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang yang terdiri dari unsur akademisi dan LSM. KPU kedua dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 11 April 2001.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Dalam menjalankan tugasnya, KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai sekretariat.
Dalam pelaksanaan Pemilu, KPU Kabupaten/Kota membentuk PPK dan PPS. Dalam melaksanakan pemungutan suara di TPS, PPS membentuk KPPS. Dalam pelaksanaan Pemilu di luar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN. Untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu, KPU membentuk Pengawas Pemilu.
Untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas, KPU menyusun kode etik yang bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh KPU. Untuk memeriksa pengaduan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, dibentuk Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc. Keanggotaan Dewan Kehormatan KPU sebanyak 3 (tiga) orang terdiri atas seorang ketua dan anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh anggota KPU. Dewan Kehormatan KPU merekomendasikan tindak lanjut hasil pemeriksaannya kepada KPU. Mekanisme kerja Dewan Kehormatan KPU ditetapkan oleh KPU.
3. Penyelenggara Pemilu 2009
Tiga tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas Pemilu, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU dituntut independen dan non partisan. Untuk itu, atas usul inisiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu.
Tiga tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas Pemilu, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU dituntut independen dan non partisan. Untuk itu, atas usul inisiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu.
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh Nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang professional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pemilihanumum. Oleh karena itu, diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum, selanjutnya disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilihan umum bebas dan pengaruh pihak mana pun.
Perubahan penting dalam Undang-Undang ini, antara lain, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan disempurnakan menjadi 1 (satu) undang- undang secara lebih komprehensif.
Di dalam Undang-Undang ini diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya; KPU memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLNserta KPPSLN yang merupakan penyelenggara pemilihan umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan pemilihan umum dalam rangka mengawal terwujudnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundangundangan. Untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum, Undang- Undang ini mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Pembentukan Pengawas Pemilu tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum.
Adanya lembaga penyelenggara pemilihan umum yang profesional membutuhkan Sekretariat Jenderal KPU di tingkat pusat dan sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/ Kota di daerah sebagai lembaga pendukung yang profesional dengan tugas utama membantu hal teknis administratif, termasuk pengelolaan anggaran. Untuk lebih membantu lancarnya tugas-tugas KPU, diangkat tenaga ahli/pakar sesuai dengan kebutuhan dan berada di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal KPU.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode EtikPenyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilihan umum, Undang- Undang ini memuat pengaturan yang mengamanatkan agar Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan oleh KPU dan Bawaslu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU adalah 7 (tujuh) orang. Untuk itu, KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 101/P/2007 yang beranggotakan 7 (tujuh) orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat yang dilantik tanggal 23 Oktober 2007.
Pengurangan jumlah anggota KPU ini tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi dan wewenang, dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Masa keanggotaan KPU adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
4. Penyelenggara Pemilu 2014
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas.
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing.
Sehubungan dengan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009 yang belum berjalan secara optimal, maka diperlukan langkah-langkah perbaikan menuju peningkatan kualitas penyelenggaraan Pemilu. Perbaikan tersebut mencakup perbaikan jadwal dan tahapan serta persiapan yang semakin memadai. Berdasarkan hal tersebut, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum perlu diganti. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Pemilu dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis.
Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu. Komisi Pemilihan Umum Provinsi adalah Penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di provinsi. Sedangkan, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota adalah Penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di kabupaten/kota.
Dalam UU ini disebutkan pula mengenai kepanitiaan yang dibentuk untuk membantu melaksanakan Pemilu di tingkat kecamatan atau nama lain (PPK), di tingkat desa atau nama lain/kelurahan (PPS), di luar negeri (PPLN), KPPS dan KPPSLN.
Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
KPU berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. KPU Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. Dan, KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis dan tetap. Dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jenderal. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh secretariat. Sekretariat Jenderal KPU, sekreatriat KPU Provinsi dan secretariat KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis. Pegawai KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berada dalam satu kesatuan manajemen kepegawaian.
Dalam menjalankan tugasnya, KPU dalam hal keuangan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu dan tugas lainnya memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Laporan tersebut disampaikan secara periodik dalam setiap penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditembuskan kepada Bawaslu.
Jumlah anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang. Jumlah anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah janji.
Sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu, lembaga yang bertugas melakukan pengawasan penyelenggaraan Pemilu adalah Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Bawaslu dan Bawaslu Provinsi bersifat tetap. Sedangkan Pawaslu Kabupaten/Kota, Pawaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas pemilu Luar Negeri bersifat ad hoc.
Di samping Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilihan Umum dibentuk pula suatu lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan juga merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota Negara. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Dalam melaksanakan tugasnya DKPP dibantu oleh sekretariat yang melekat pada Sekretariat Jenderal Bawaslu.
Sumber : http://kpud-tasikmalayakab.go.id/